Rabu, 28 Desember 2016

Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Hukum Publik


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam presfektif Hukum Syari’ah yang berkecimpung dalam Hukum Nasional Indonesia terdapat banyak terterap yang ditandai dari berbagai aspek yang mampu mengkonstruktif secara radikal, universal, sistematis dalam penerapannya dai ranah public. Hal itu menunjukkan bahwa hukum nasional sejalan dengan hukum syari’ah. Oleh sebab itu hukum syari’ah mampu diterima penerapannya dalam hukum nasional karena tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Penerapan tersebut akan dipaparkan secara rinci dan sistematis oleh penulis dalam bab selanjutnya.
B.     Rumusan Masalah
Penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
a.       Bagaimana Transformasi Hukum Syari’ah Ke dalam Hukum Nasional?
b.      Bagaimana Penerapan Dimensi-Dimensi Hukum Syari’ah kedalam Hukum Nasional?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut :
a.       Untuk Mengetahui Transformasi Hukum Syari’ah Ke dalam Hukum Nasional?
b.      Untuk Mengetahui Penerapan Dimensi-Dimensi Hukum Syari’ah kedalam Hukum Nasional.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Transformasi Hukum Syari’ah Ke dalam Hukum Nasional
Ada tiga gagasan utama yang digunakan dalam pembahasan tentang transformasi hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional. Ketiga gagasan itu merupakan bagian dari gejala kehidupan di berbagai negara dan kawasan. Ia berada dalam tataran perubahan hukum dalam berbagai satuan masyarakat bangsa, dari hukum tak tertulis (lex nonscripta) menjadi hukum tertulis (lex scripta). Dari hukum yang bersifat spesial menjadi yang bersifat umum (Cf. Galanter, 1966: 168). Bahkan, secara umum, hal itu merupakan bagian dari perubahan peradaban, dari tradisi kecil yang bersifat oral dan verbal menjadi tradisi besar yang diwacanakan dan didokumentasikaan.
1.      Pertama, Hukum Islam merupakan serangkaian perintah dan larangan Allah dan Rasulullah bagi penataan kehidupan umat manusia. Ia bersifat semesta, tanpa terikat oleh struktur sosial meskipun mempertimbangkan sistem sosial yang berlaku. Namun ketika hukum itu diterapkan dalam kehidupan masyarakat manusia, dalam hal ini umat Islam, ia berada dalam struktur sosial, sebagaimana tampak dalam hukum Islam dimensi fiqh, fatwa, nizham, qanun, idarah, qadha, dan adat. Secara garis besar hukum Islam mencaku beberapa dimensi, yaitu dimensi syari‘ah, dimensi ilmu, dimensi fiqh, dimensi fatwa, dimensi nizham, dimensi qanun, dimensi, idarah, dimensi qadha, dan dimensi adat.[1]
2.      Kedua, Transformasi Hukum Islam ke dalam satuan masyarakat bangsa yang diikat oleh organisasi Negara. Hal itu dilakukan atas dasar keputusan politik, atau politik hukum, dari penyelenggara negara melalui proses legislasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan perangkat infrastruktur yang menjalankan produk legislasi tersebut. Dalam kenyataannya, hal itu terjadi di negara-negara Islam dan negeri-negeri Muslim. Dari berbagai tulisan sebagaimana dikemukakan al-Sibā‘i (1966), Tahir Mahmood (1972 dan 1987), Muhamamad Siraj (1993), dan Sudirman Tebba (1993), menunjukkan terjadi transformasi hukum Islam, khususnya kaidah hukum pribadi dan keluarga, ke dalam peraturan perundang-undangan, baik pada jenjang undang-undang maupun pada jenjang yang lebih rendah. Bahkan di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim, misalnya di Philipina dan Thailand terjadi transformasi hukum Islam ke dalam qanun (Lihat: Anonimus, 1983; Surin Pitsuan, 1989).
3.      Ketiga, Sistem Hukum Nasional sebagai bagian dari sistem masyarakat bangsa. Dalam sistem hukum itu mencakup nilai fundamental yang telah disepakati sebagai rujukan utama, bahan baku dalam pembentukan dan pengembangan hukum, arah pengembangan hukum yang hendak dicapai, berbagai bidang kehidupan yang memerlukan pengaturan, jenjang peraturan yang menjadi otoritas penyelenggara negara, aparatur hukum, proses politik melalui suprastruktur dan infrastruktur politik, pluralitas dan perkembangan masyarakat bangsa (internal), dan perkembangan masyarakat dunia yang ditunjang oleh produk teknologi (eksternal). Berbagai hal itu merupakan komponen dalam sistem hukum nasional sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi.
Tentu saja, fokus pembahasan ini sekitar transformasi hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional di Indonesia. Dalam konteks ini hukum Islam dapat disebut sebagai salah satu tatanan hukum sebagaimana tercermin dalam politik hukum nasional, yakni dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Butir kedua dalam Arah Kebijakan Hukum dinyatakan: “Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan jender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi”. Meskipun politik hukum itu tidak secara eksplisit menunjuk kepada hukum Islam, namun secara implisit diakui bahwa di Indonesia terdiri atas berbagai tatanan hukum, antara lain tatanan hukum Islam (Lihat: Harahap, 1993: 17; Busthanul Arifin, 1994: 9). Ia berpeluang untuk ditransformasikan ke dalam sistem hukum nasional. Dalam keadaan yang demikian, materi hukum dalam tatanan hukum Islam memiliki peluang menjadi salah satu bahan baku dalam proses pembentukan dan pengembangan sistem hukum nasional. Ia memiliki nilai filosofis, nilai sosiologis, dan nilai yuridis sebagaimana dinyatakan dalam politik hukum tersebut.
Dalam proses transformasi tersebut terjadi interaksi antar berbagai tatanan hukum. Tatanan hukum dimaksud adalah tatanan hukum Barat, terutama hukum Eropa Kontinental, ataucivil law system, dan berbagai tatanan hukum lokal yang dikenal sebagai hukum adat. Tatanan hukum Barat tumbuh dan berkembang berkekaan dengan penjajahan Belanda di Indonesia, yang memakan waktu amat panjang. Sedangkan tatanan hukum adat tumbuh dan berkembang dalam berbagai satuan masyarakat etnik (suku bangsa) yang tersebar di berbagai kepulauan Nusantara.

B.     Penerapan Dimensi-Dimensi Hukum Syari’ah kedalam Hukum Nasional
Terterapnya dimensi-dimensi Hukum Syari’ah ke dalam Hukum nasional ditandai dengan beberapa hal yeng terkodifikasi di dalam suatu UU yaitu sebagai berikut :
1.      Hukum Perdata Islam di Indonesia
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islamitu sendiri. Membicarakan hukum islam samalah artinya dengan membicarakan Islam sebagai agama. Benarlah apa yang dikatakan oleh Joseph Sacht, tidak mungkin mempelajari Islam tanpa mempelajari Hukum Islam.
 Ini menunjukkan bahwa Hukum sebagai sebuah institusi agama yang memiliki kedudukan yang sangat signifikan.[2]
Salah satu makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebasnya dari pengaruh hukum Belanda. Menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Terori receptie harus exit karena bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Huzairin menyebut teori receptie sebagai teori iblis.

Berdasarkan pendapatnya ini, Huzairin mengembangkan teori yang disebutnya sebagai teori receptie exit. Pokok-pokok pikiran Huzairin tersebut adalah :
1.      Teori receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata negara Indonesia sejak tahun 1945 dengan merdekanya bangsa Indonesia dan mulai berlakunya UUD 1945.
2.      Sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 maka Negara Republik Indonesia berkewajiban, membentuk Hukum Nasional Indonesia yang bahannya Hukum Agama. Negara mempunyai kewajiban kenegaraan untuk itu.
3.      Hukum agama yang masuk dan yang menjadi Hukum Nasional Indonesia bukan Hukum Islam saja, melainkan juga hukum agama lain untuk pemeluk agama lain. Huku agama di bidanh hukum perdata diserap dan hukum pidana diserap menjadiHukum Nasional Indonesia. Itulah hukum baru Indonesia dengan dasar Pancasila.[3]


Dari uraian tersebut telah jelas bahwa Islam mampu berkecimpung dalam Hukum Nasional Indonesia, dimana ajaran-ajaran Islam sangan sesuai dengan UUD 1945 dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dalam era globalisasi yang semakin kritis dalam menyingkapi persoalan hukum.

2.      Perundang-Undangan Produk Halal
a.       Dalam UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan
Bahwa Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan Nasional.
Didalam UU No.7 tahun 1996 tentang Pangan bab IV label dan Iklan Pangan Pasal 30 ayat (2) menyatakan bahwa :
Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai :
a.       Nama Produk;
b.      Daftar bahan yang digunakan;
c.       Berat bersih atau isi bersih;
d.      Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia;
e.       Keterangan tentang halal; dan
f.       Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa.[4]

Dalam uraian tersebut telah jelas bahwa kehalalan dalam mengkonsumsi Pangan sangat berpengaruh dalam Hukum Nasional Indonesia, dan Hukum Syari’ah mengenai makanan yang halal dan baik mampu diterapkan dalam Hukum nasional Indonesia.


3.      UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Wakaf merupakan kajian Muamalah yang menjadi salah satu acuan untuk mengkonstruktif dalam pelaksanaan kebutuhan kelangsungan hidup bermasyarakat.
Dalam BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 UU No,41 tahun 2004 Tentang wakaf menyatakan bahwa “Wakaf merupakan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.[5]
Dalam hal ini wakaf merupakan Hukum Syari’ah Islam yang dikodifikasikan dalam bentuk Undang-Undang yang dipublikasikan kepada masyarakat Indonesia, hal ini terbukti bahwa Undang-Undang wakaf tersebut dapat masuk ke dalam Hukum Nasional Indonesia.

4.      Peradilan Islam di Indonesia
Indonesia sebagai salah satu Negara yang memiliki Peradilan sebagai pilar penyangga bagi berlangsungnya roda pemerintahannya. Di Negara Indonesia saat ini terdapat empat macam badan peradilan yaitu :
1.      Peradilan Umum
2.      Peradilan Agama
3.      Peradilan Militer
4.      Peradilan Tata Usaha Negara
Dari gambaran empat macam badan peradilan yang dimiliki Indonesia seperti tersebut di atas, maka badan peradilan di Indonesia ini terdiri dari satu peradilan umum dan tiga peradilan khusus. Salah satu dari tiga peradilan khusus tersebut adalah Peradilan Agama.[6]
Terlihat jelas bahwa Hukum Syari’ah mampu mengatasi segala bentuk problem-problem masyarakat dalam kelangsungan hidup masyarakat. Penerapan dimensi syari’ah dalam hal ini mencakup berbagai aspek yang sangat penting bagi negara Indonesia, yang memadukan antara Hukum Umum dengan Hukum Islam.

5.      Perbankan Syari’ah
Penerapan Dimensi Syari’ah ke dalam Hukum Nasionala juga dpat kita lihat dari Perbankan Syari’ah yang mengambil Hukum-Hukum syari’ah ke dalam pelaksanaan aktivitas perbankan.
Perkembangan hukum ekonomi Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum Islam di Indonesia.[7]
Hukum Islam mampu menjawab perekonomian yang sedang berkembang dalam masyarakat Indonesia, dan akad yang digunakan dalam penerapan Hukum syari’ah dalam Hukum Nasional Indonesia khususnya dalam Perbankan Syari’ah menjadikan segala kemungkinan yang mengandung riba sedikit lebih teratasi. Namun terdapat banyak kekurangan yang terlihat dalam pelaksanaan di Perbankan syari’ah yang membuat masyarakat Indonesia yang beragama Islam lebih memilih Perbankan Konvensional.
Dan banyak lagi contoh-contoh penerapan dimensi Hukum syari’ah ke dalam Hukum Nasional Indonesia.









BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Penulis dapat menyimpulkan sebagi berikut :
1.      Bahwa transformasi Hukum Syari’ah ke dalam Hukum Nasional ditandai dengan proses transformasi yang berupa terjadi interaksi antar berbagai tatanan hukum. Tatanan hukum dimaksud adalah tatanan hukum Barat, terutama hukum Eropa Kontinental, ataucivil law system.
2.      Penerapan Dimensi Hukum Syari’ah ke Dalam Hukum nasional Indonesia ditandai dengan terkodifikasinya Undang-Undang yang menyangkut tentang Syari’ah ke dalam Hukum Nasional Indonesia.

B.     SARAN
Penulis dapat menyarankan bahwa :
1.      Dalam pentransformasian tersebut hendaklah Masyarakat syari’ah lebih mendukung dan mengkonstruktifkan hukum-hukum syari’ah tersebut agar lebih membumi dalam ranah Nasional bahkan Internasional.
2.      Dalam Penerapan dimensi Hukum Syari’ah ke dalam Hukum Nasional haruslah kita masyarakat syari’ah lebih mempublikasikan hukum-hukum yang terterap sehingga dan mengasosiakan hal tersebut ke dalam ranah public. Agar terbentang sayap Hukum Syari’ah dalam mengungguli Hukum Konvensional yang berlaku di Indonesia.






DAFTAR PUSTAKA

Sri Imaniyati, Neni, Perbankan Syari’ah dalam Presfektif Hukum Ekonomi, Bandung : CV Mandar Maju, 2013.
Departemen Agama RI, Perundang-Undangan Produk Halal, Jakarta : Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Proyek pembinaan Pangan Halal, 2003.
Departemen Agama, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2009.
Harahap, Pangeran, Peradilan Islam di Indonesia, Medan : Perdana Publishing, 2012.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata islam di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004.
Bisri, Cik Hasan, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Cetakan Pertama. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2004.




[1] Cik Hasan Bisri. Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Cetakan Pertama. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2004), hlm. 34-43.
[2] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata islam di Indonesia (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004), hlm. 2
[3] Ibid, hlm. 17-18.
[4]Departemen Agama RI. Perundang-Undangan Produk Halal (Jakarta : Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Proyek pembinaan Pangan Halal, 2003), hlm. 1 dan 16.
[5] Departemen Agama. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2009), hlm. 3.
[6] Pangeran Harahap. Peradilan Islam di Indonesia (Medan : Perdana Publishing, 2012), hlm. 1.
[7] Neni Sri Imaniyati. Perbankan Syari’ah dalam Presfektif Hukum Ekonomi (Bandung : CV Mandar Maju, 2013), hlm. 39.