BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
presfektif Hukum Syari’ah yang berkecimpung dalam Hukum Nasional Indonesia
terdapat banyak terterap yang ditandai dari berbagai aspek yang mampu
mengkonstruktif secara radikal, universal, sistematis dalam penerapannya dai
ranah public. Hal itu menunjukkan bahwa hukum nasional sejalan dengan hukum
syari’ah. Oleh sebab itu hukum syari’ah mampu diterima penerapannya dalam hukum
nasional karena tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan
Pancasila.
Penerapan
tersebut akan dipaparkan secara rinci dan sistematis oleh penulis dalam bab
selanjutnya.
B.
Rumusan
Masalah
Penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana
Transformasi Hukum Syari’ah Ke dalam Hukum Nasional?
b. Bagaimana
Penerapan Dimensi-Dimensi Hukum Syari’ah kedalam
Hukum Nasional?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
Penulisan Makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk
Mengetahui Transformasi Hukum Syari’ah Ke dalam Hukum Nasional?
b. Untuk
Mengetahui Penerapan Dimensi-Dimensi Hukum Syari’ah
kedalam Hukum Nasional.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Transformasi Hukum Syari’ah Ke
dalam Hukum Nasional
Ada tiga
gagasan utama yang digunakan dalam pembahasan tentang transformasi hukum Islam
ke dalam sistem hukum nasional. Ketiga gagasan itu merupakan bagian dari gejala
kehidupan di berbagai negara dan kawasan. Ia berada dalam tataran perubahan
hukum dalam berbagai satuan masyarakat bangsa, dari hukum tak tertulis (lex nonscripta) menjadi hukum tertulis (lex scripta). Dari hukum yang bersifat spesial menjadi
yang bersifat umum (Cf. Galanter, 1966: 168). Bahkan, secara
umum, hal itu merupakan bagian dari perubahan peradaban, dari tradisi kecil
yang bersifat oral dan verbal menjadi tradisi besar yang diwacanakan dan
didokumentasikaan.
1.
Pertama, Hukum Islam merupakan
serangkaian perintah dan larangan Allah dan Rasulullah bagi penataan kehidupan
umat manusia. Ia bersifat semesta, tanpa terikat oleh struktur sosial meskipun
mempertimbangkan sistem sosial yang berlaku. Namun ketika hukum itu diterapkan
dalam kehidupan masyarakat manusia, dalam hal ini umat Islam, ia berada dalam
struktur sosial, sebagaimana tampak dalam hukum Islam dimensi fiqh, fatwa,
nizham, qanun, idarah, qadha, dan adat. Secara garis besar hukum Islam
mencaku beberapa dimensi, yaitu dimensi syari‘ah, dimensi ilmu, dimensi fiqh, dimensi
fatwa, dimensi nizham, dimensi qanun, dimensi, idarah, dimensi qadha, dan
dimensi adat.[1]
2.
Kedua, Transformasi Hukum
Islam ke dalam satuan masyarakat bangsa yang diikat oleh organisasi Negara. Hal
itu dilakukan atas dasar keputusan politik, atau politik hukum, dari
penyelenggara negara melalui proses legislasi dalam bentuk peraturan
perundang-undangan dan perangkat infrastruktur yang menjalankan produk
legislasi tersebut. Dalam kenyataannya, hal itu terjadi di negara-negara Islam
dan negeri-negeri Muslim. Dari berbagai tulisan sebagaimana dikemukakan
al-Sibā‘i (1966), Tahir Mahmood (1972 dan 1987), Muhamamad Siraj (1993), dan
Sudirman Tebba (1993), menunjukkan terjadi transformasi hukum Islam, khususnya
kaidah hukum pribadi dan keluarga, ke dalam peraturan perundang-undangan, baik
pada jenjang undang-undang maupun pada jenjang yang lebih rendah. Bahkan di
negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim, misalnya di Philipina dan
Thailand terjadi transformasi hukum Islam ke dalam qanun (Lihat: Anonimus,
1983; Surin Pitsuan, 1989).
3.
Ketiga, Sistem Hukum Nasional sebagai
bagian dari sistem masyarakat bangsa. Dalam sistem hukum itu mencakup nilai
fundamental yang telah disepakati sebagai rujukan utama, bahan baku dalam
pembentukan dan pengembangan hukum, arah pengembangan hukum yang hendak
dicapai, berbagai bidang kehidupan yang memerlukan pengaturan, jenjang
peraturan yang menjadi otoritas penyelenggara negara, aparatur hukum, proses
politik melalui suprastruktur dan infrastruktur politik, pluralitas dan
perkembangan masyarakat bangsa (internal), dan perkembangan masyarakat dunia
yang ditunjang oleh produk teknologi (eksternal). Berbagai hal itu merupakan
komponen dalam sistem hukum nasional sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi.
Tentu saja,
fokus pembahasan ini sekitar transformasi hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional
di Indonesia. Dalam konteks ini hukum Islam dapat disebut sebagai salah satu
tatanan hukum sebagaimana tercermin dalam politik hukum nasional, yakni dalam
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN). Butir kedua dalam Arah Kebijakan Hukum dinyatakan:
“Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan
menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan
warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan
jender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program
legislasi”. Meskipun politik hukum itu tidak secara eksplisit menunjuk kepada
hukum Islam, namun secara implisit diakui bahwa di Indonesia terdiri atas
berbagai tatanan hukum, antara lain tatanan hukum Islam (Lihat: Harahap, 1993:
17; Busthanul Arifin, 1994: 9). Ia berpeluang untuk ditransformasikan ke dalam
sistem hukum nasional. Dalam keadaan yang demikian, materi hukum dalam tatanan
hukum Islam memiliki peluang menjadi salah satu bahan baku dalam proses
pembentukan dan pengembangan sistem hukum nasional. Ia
memiliki nilai filosofis, nilai sosiologis, dan nilai yuridis sebagaimana
dinyatakan dalam politik hukum tersebut.
Dalam
proses transformasi tersebut terjadi interaksi antar berbagai tatanan hukum.
Tatanan hukum dimaksud adalah tatanan hukum Barat, terutama hukum Eropa
Kontinental, ataucivil law system, dan berbagai tatanan
hukum lokal yang dikenal sebagai hukum adat. Tatanan hukum Barat tumbuh dan
berkembang berkekaan dengan penjajahan Belanda di Indonesia, yang memakan waktu
amat panjang. Sedangkan tatanan hukum adat tumbuh dan berkembang dalam berbagai
satuan masyarakat etnik (suku bangsa) yang tersebar di berbagai kepulauan
Nusantara.
B.
Penerapan Dimensi-Dimensi Hukum Syari’ah kedalam Hukum
Nasional
Terterapnya
dimensi-dimensi Hukum Syari’ah ke dalam Hukum nasional ditandai dengan beberapa
hal yeng terkodifikasi di dalam suatu UU yaitu sebagai berikut :
1.
Hukum Perdata Islam di Indonesia
Sejarah
perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islamitu
sendiri. Membicarakan hukum islam samalah artinya dengan membicarakan Islam
sebagai agama. Benarlah apa yang dikatakan oleh Joseph Sacht, tidak mungkin
mempelajari Islam tanpa mempelajari Hukum Islam.
Ini menunjukkan bahwa Hukum sebagai sebuah
institusi agama yang memiliki kedudukan yang sangat signifikan.[2]
Salah satu
makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebasnya dari pengaruh hukum
Belanda. Menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, walaupun aturan peralihan
menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak
bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang
berdasarkan teori receptie tidak
berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Terori receptie harus exit karena bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Huzairin menyebut teori receptie
sebagai teori iblis.
Berdasarkan
pendapatnya ini, Huzairin mengembangkan teori yang disebutnya sebagai teori receptie exit. Pokok-pokok pikiran
Huzairin tersebut adalah :
1.
Teori receptie telah
patah, tidak berlaku dan exit dari tata negara Indonesia sejak tahun 1945
dengan merdekanya bangsa Indonesia dan mulai berlakunya UUD 1945.
2.
Sesuai dengan UUD 1945
pasal 29 ayat 1 maka Negara Republik Indonesia berkewajiban, membentuk Hukum
Nasional Indonesia yang bahannya Hukum Agama. Negara mempunyai kewajiban
kenegaraan untuk itu.
3.
Hukum agama yang masuk
dan yang menjadi Hukum Nasional Indonesia bukan Hukum Islam saja, melainkan
juga hukum agama lain untuk pemeluk agama lain. Huku agama di bidanh hukum
perdata diserap dan hukum pidana diserap menjadiHukum Nasional Indonesia.
Itulah hukum baru Indonesia dengan dasar Pancasila.[3]
Dari uraian
tersebut telah jelas bahwa Islam mampu berkecimpung dalam Hukum Nasional
Indonesia, dimana ajaran-ajaran Islam sangan sesuai dengan UUD 1945 dan
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dalam era globalisasi yang semakin
kritis dalam menyingkapi persoalan hukum.
2.
Perundang-Undangan Produk Halal
a.
Dalam UU No. 7 tahun
1996 tentang Pangan
Bahwa Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang
pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber
daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan Nasional.
Didalam UU No.7 tahun 1996 tentang Pangan bab IV label dan
Iklan Pangan Pasal 30 ayat (2) menyatakan bahwa :
Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , memuat
sekurang-kurangnya keterangan mengenai :
a.
Nama Produk;
b.
Daftar bahan yang
digunakan;
c.
Berat bersih atau isi
bersih;
d.
Nama dan alamat pihak
yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia;
e.
Keterangan tentang
halal; dan
f.
Tanggal, bulan dan
tahun kadaluarsa.[4]
Dalam uraian
tersebut telah jelas bahwa kehalalan dalam mengkonsumsi Pangan sangat
berpengaruh dalam Hukum Nasional Indonesia, dan Hukum Syari’ah mengenai makanan
yang halal dan baik mampu diterapkan dalam Hukum nasional Indonesia.
3.
UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Wakaf
merupakan kajian Muamalah yang menjadi salah satu acuan untuk mengkonstruktif
dalam pelaksanaan kebutuhan kelangsungan hidup bermasyarakat.
Dalam BAB I
Ketentuan Umum Pasal 1 UU No,41 tahun 2004 Tentang wakaf menyatakan bahwa
“Wakaf merupakan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syari’ah.[5]
Dalam hal
ini wakaf merupakan Hukum Syari’ah Islam yang dikodifikasikan dalam bentuk
Undang-Undang yang dipublikasikan kepada masyarakat Indonesia, hal ini terbukti
bahwa Undang-Undang wakaf tersebut dapat masuk ke dalam Hukum Nasional
Indonesia.
4.
Peradilan Islam di Indonesia
Indonesia
sebagai salah satu Negara yang memiliki Peradilan sebagai pilar penyangga bagi
berlangsungnya roda pemerintahannya. Di Negara Indonesia saat ini terdapat
empat macam badan peradilan yaitu :
1.
Peradilan Umum
2.
Peradilan Agama
3.
Peradilan Militer
4.
Peradilan Tata Usaha
Negara
Dari
gambaran empat macam badan peradilan yang dimiliki Indonesia seperti tersebut
di atas, maka badan peradilan di Indonesia ini terdiri dari satu peradilan umum
dan tiga peradilan khusus. Salah satu dari tiga peradilan khusus tersebut
adalah Peradilan Agama.[6]
Terlihat
jelas bahwa Hukum Syari’ah mampu mengatasi segala bentuk problem-problem
masyarakat dalam kelangsungan hidup masyarakat. Penerapan dimensi syari’ah
dalam hal ini mencakup berbagai aspek yang sangat penting bagi negara
Indonesia, yang memadukan antara Hukum Umum dengan Hukum Islam.
5.
Perbankan Syari’ah
Penerapan
Dimensi Syari’ah ke dalam Hukum Nasionala juga dpat kita lihat dari Perbankan
Syari’ah yang mengambil Hukum-Hukum syari’ah ke dalam pelaksanaan aktivitas
perbankan.
Perkembangan
hukum ekonomi Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum
Islam di Indonesia.[7]
Hukum Islam
mampu menjawab perekonomian yang sedang berkembang dalam masyarakat Indonesia,
dan akad yang digunakan dalam penerapan Hukum syari’ah dalam Hukum Nasional
Indonesia khususnya dalam Perbankan Syari’ah menjadikan segala kemungkinan yang
mengandung riba sedikit lebih teratasi. Namun terdapat banyak kekurangan yang
terlihat dalam pelaksanaan di Perbankan syari’ah yang membuat masyarakat
Indonesia yang beragama Islam lebih memilih Perbankan Konvensional.
Dan banyak
lagi contoh-contoh penerapan dimensi Hukum syari’ah ke dalam Hukum Nasional
Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penulis dapat menyimpulkan sebagi berikut :
1. Bahwa transformasi Hukum Syari’ah ke dalam Hukum Nasional
ditandai dengan proses transformasi yang berupa terjadi interaksi antar
berbagai tatanan hukum. Tatanan hukum dimaksud adalah tatanan hukum Barat,
terutama hukum Eropa Kontinental, ataucivil law system.
2. Penerapan Dimensi
Hukum Syari’ah ke Dalam Hukum nasional Indonesia ditandai dengan
terkodifikasinya Undang-Undang yang menyangkut tentang Syari’ah ke dalam Hukum
Nasional Indonesia.
B.
SARAN
Penulis dapat
menyarankan bahwa :
1. Dalam
pentransformasian tersebut hendaklah Masyarakat syari’ah lebih mendukung dan
mengkonstruktifkan hukum-hukum syari’ah tersebut agar lebih membumi dalam ranah
Nasional bahkan Internasional.
2. Dalam Penerapan
dimensi Hukum Syari’ah ke dalam Hukum Nasional haruslah kita masyarakat
syari’ah lebih mempublikasikan hukum-hukum yang terterap sehingga dan
mengasosiakan hal tersebut ke dalam ranah public. Agar terbentang sayap Hukum
Syari’ah dalam mengungguli Hukum Konvensional yang berlaku di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Sri
Imaniyati, Neni, Perbankan Syari’ah dalam
Presfektif Hukum Ekonomi, Bandung : CV Mandar Maju, 2013.
Departemen
Agama RI, Perundang-Undangan Produk Halal,
Jakarta : Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Proyek pembinaan Pangan
Halal, 2003.
Departemen
Agama, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf, Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,
2009.
Harahap,
Pangeran, Peradilan Islam di Indonesia,
Medan : Perdana Publishing, 2012.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata islam di Indonesia, Jakarta
: Kencana Prenada Media Group, 2004.
Bisri, Cik Hasan, Pilar-pilar Penelitian Hukum
Islam dan Pranata Sosial, Cetakan Pertama. Jakarta: RajaGrafindo
Persada. 2004.
[1] Cik Hasan
Bisri. Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial
(Cetakan Pertama. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2004), hlm. 34-43.
[2] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal
Tarigan. Hukum Perdata islam di Indonesia
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004), hlm. 2
[3] Ibid, hlm. 17-18.
[4]Departemen Agama RI. Perundang-Undangan Produk Halal (Jakarta
: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Proyek pembinaan Pangan Halal,
2003), hlm. 1 dan 16.
[5] Departemen Agama. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf (Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2009),
hlm. 3.
[6] Pangeran Harahap. Peradilan Islam di Indonesia (Medan :
Perdana Publishing, 2012), hlm. 1.
[7] Neni Sri Imaniyati. Perbankan Syari’ah dalam Presfektif Hukum
Ekonomi (Bandung : CV Mandar Maju, 2013), hlm. 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar